Senin, 23 April 2012

CIRI PUISI, BENTUK PUISI, JENIS PUISI

PUISI
A. Definisi Puisi
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang terikat oleh rima, ritme, ataupun jumlah baris dalam bait, serta ditandai oleh bahasa yang padat
B. Unsur intrinsik puisi
Unsur intrinsik puisi meliputi unsur isi dan unsur bentuk
Unsur isi puisi
1. Tema : pokok pikiran puisi
2. Amanat : pesan yang ingin disampaikan oleh penulis
3. Nada : sikap penyair terhadap pembaca dalam puisi
4. Perasaan : perasaan penyair dalam puisi
Unsur bentuk puisi
1. Larik : kalimat yang ada dalam puisi
2. Bait : kumpulan larik atau baris
3. Pertautan antar bait : hunbungan antar bait
4. Rima : persamaan bunyi
5. Diksi : pilihan kata
Berdasarkan zamannya, puisi bisa dibedakan menjadi puisi lama, puisi baru, dan puisi kontemporer. Hampir semua puisi lama dibuat dengan sangat terikat pada aturan-aturan yang meliputi: 1) jumlah kata dalam 1 baris, 2) jumlah baris dalam 1 bait, 3) persajakan (rima), 4) banyak suku kata tiap baris, dan 5) irama (ritma).
C. Puisi Lama
1. Mantra
Mantra adalah merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.
Contoh:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
2. Bidal
Bidal adalah bahasa berkias untuk mengungkapkan perasaan yang sehalus-halusnya, hingga orang lain yang mendengarkan harus mendalami dan meresapi arti serta maksud dalam hatinya sendiri, biasanya berisi nasihat, sindiran, peringatan, dan sebagainya. Menurut penggunaannya bidal bisa diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:
a Pepatah, adalah kiasan tepat yang berupa kalimat sempurna dan pendek, pada mulanya dimaksudkan untuk mematahkan pembicaraan orang lain. Contoh:
– Buruk muka cermin dibelah.
– Anjing menyalak takkan menggigit.
– Besar bungkus tak berisi.
b Perumpamaan, adalah majas yang berupa perbandingan dua hal yang pada hakikat berbeda, tetapi sengaja dianggap sama (secara eksplisit dinyatakan dengan kata-kata pembanding umpama, bak, bagai, seperti, ibarat, dsb). Contoh:
– Soraknya seperti gunung runtuh.
– Wajahnya laksana bulan kesiangan.
– Seperti mendapat durian runtuh.
c Ibarat, adalah perbandingan dengnan seterang-terangnya dengan keadaan alam sekitarnya, yang mengandung sifat puisi di dalamnya. Contoh:
– Hendaklah seperti tembikar, pecah satu pecah semua.
– Ibarat bunga, segar dipakai layu dibuang.
– Bagai anak ayam kehilangan induk, selalu saja dalam kebingungan.
d Amsal, adalah kalimat pendek untuk mengajarkan suatu kebenaran. Contoh:
– Biar badan penat, asal hati suka.
– Boleh dipelajari, jangan diikuti (untuk sesuatu yang jelek).
e Tamsil, adalah kiasan pendek yang bersajak dan berirama, seperti pantun kilat atau karmina. Contoh:
– Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.
– Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.
– Dekat kabut mata tertutup, dekat maut maaf tertutup.
f Pemeo, adalah kata-kata atau kalimat-kalimat singkat baik yang mengandung ejekan atau semangat, yang ditiru dari ucapan seseorang, dan kemudian sering diucapkan atau dipakai dalam masyarakat. Contoh:
– Sekali merdeka, tetap merdeka!
– Maju terus, pantang mundur!
– Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!
3. Pantun. Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat.
Ciri – ciri Pantun :
a Setiap bait terdiri 4 baris
b Baris 1 dan 2 sebagai sampiran
c Baris 3 dan 4 merupakan isi
d Bersajak a – b – a – b
e Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
f Berasal dari Melayu (Indonesia)
Contoh :
Ada pepaya ada mentimun (a)
Ada mangga ada salak (b)
Daripada duduk melamun (a)
Mari kita membaca sajak (b)
a. Macam-macam Pantun dilihat dari Bentuknya
 Pantun Biasa, pantun biasa sering juga disebut pantun saja.
Contoh :
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukan ke dalam hati
 Seloka (Pantun Berkait), Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.
Ciri-ciri Seloka:
– Baris kedua dan keempat pada bait pertama dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait kedua.
– Baris kedua dan keempat pada bait kedua dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait ketiga dan seterusnya
Contoh Seloka:
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan,
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan
 Talibun, Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya. Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi. Jika satiu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi. Jadi apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c. Dan bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d
Contoh Talibun:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari
Induk semang cari dahulu
 Pantun kilat ( karmina ) Pantun ini disebut juga pantun dua seuntai. Pantun kilat atau karmina atau pantun dua seuntai adalah pantun yang hanya terdiri atas dua larik, yaitu larik pertama sebagai sampiran dan larik kedua isinya. Sebenarnya berasal dari empat larik, yang tiap larik bersuku kata empat atau lima, lalu kedua larik itu diucapkan seolah-olah sebuah kalimat.
Ciri-ciri Karmina :
– Setiap bait terdiri dari 2 baris
– baris pertama merupakan sampiran
– Baris kedua merupakan isi
– Bersajak a – a
– Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Contoh :
Pisang kepok
pisang berbiji,
Anak mondok,
diambil istri.
Lalu dijadikan:
Pisang kepok, pisang berbiji
Anak mondok, diambil istri
b. Macam-macam Pantun Dilihat dari Isinya
 Pantun anak-anak
Contoh :
Elok rupanya si kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah datang
 Pantun orang muda
Contoh :
Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Sehidup semati kita bersama
Satu kubur kelak berdua
 Pantun Orang Tua
Contoh :
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
 Pantun Jenaka
Contoh :
Elok rupanya pohon belimbing
Tumbuh dekat pohon mangga
Elok rupanya berbini sumbing
Biar marah tertawa juga
 Pantun Teka-Teki
Contoh :
Kalau puan, puan cemara
Ambil gelas di dalam peti
Kalau tuan bijak laksana
Binatang apa tanduk di kaki
Jalan-jalan ke Pasar Batu
Jika buntu jalan ke desa
Jika tuan cerdik waskita
bunga apa tak pernah layu
4. Gurindam. Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India)
Ciri-ciri Gurindam:
a Tiap bait terdiri daari dua baris/larik
b Sajak akhir berirama a – a ; b – b; c – c dst.
c Hubungan baris pertama dan kedua membentuk hubungan sebab akibat
d Isinya merupakan nasihat yang cukup jelas yakni menjelaskan atau menampilkan suatu sebab akibat.
Contoh :
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
Bagai rumah tiada bertiang ( b )
Jika suami tiada berhati lurus ( c )
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )
5. Syair, Syair adalah puisi lama yang berasal dari Arab.
Ciri – ciri Syair :
a Setiap bait terdiri dari 4 baris
b Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
c Bersajak a – a – a – a
d Isi semua tidak ada sampiran
e Berasal dari Arab
Contoh :
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
Negeri bernama Pasir Luhur (a)
Tanahnya luas lagi subur (a)
Rakyat teratur hidupnya makmur (a)
Rukun raharja tiada terukur (a)
Raja bernama Darmalaksana (a)
Tampan rupawan elok parasnya (a)
Adil dan jujur penuh wibawa (a)
Gagah perkasa tiada tandingnya (a)
6. Kit’ah Adalah puisi arab yang berisi nasihat – nasihat
7. Gazal Adalah puisi arab yang berisi cinta kasih
8. Nazam Puisi arab yang berisi cerita hamba sahaya, raja, sultan, pangeran atau bangsawan istana
9. Ruba’i adalah puisi arab yang berkaitan dengan nasihat
10. Masnawi adalah puisi arab yang berisi puji-pujian tentang tingkah laku seseorang yang mulia
D. Puisi Baru adalah puisi yang sudah mulai meninggalkan aturan-aturan penulisan seperti pada puisi lama. Hanya saja dalam puisi baru masih memperhatikan jumlah baris dalam tiap baitnya
1. Jenis puisi baru berdasarkan bait, irama, rima
Puisi baru Indonesia lahir tahun dua puluhan oleh para pujangga Angkatan pra-Pujangga Baru, antara lain, Muhammad Yamin dan Rustam Effendi. Puisi baru bebas rima dan irama, tetapi jumlah larik tiap bait masih diperhatikan. Puisi ini hanya terikat oleh jumlah larik tiap bait.
Jenis puisi baru Indonesia, antara lain:
a Distikon, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris (puisi dua seuntai). Contoh:
Hang Tuah
Bayu berpuput alam bergulung
Bayu berebut buih dibubung
Selat Malaka ombaknya memecah
Pukul memukul belah membelah
Bahtera ditepuk butiran dilanda
Penjajab dihantuk halauan ditunda
Oleh Amir Hamzah
b Tersina, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris (puisi tiga seuntai). Contoh:
Cinta
Dalam ribuan pagi bahagia datang
Tersenyum bagai kencana
Bersinar bagai cendana
Dalam bahagia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mengwarna bagai sari
Oleh Sanusi Pane
c Kuatren adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas empat baris (puisi empat seuntai).
Contoh:
Sebab Dikau
Kasih kuhidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
….
Oleh Amir Hamzah
d Kuint, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas lima baris (puisi lima seuntai).
Contoh:
Satu-satu perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan
(Or Mandank)
e Sektet, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas enam baris (puisi enam seuntai). Contoh:
Di kelam hitam mengepung
Menjerit peluit kereta malam
Merintih ke langit
Derita hidup mengepung
Menjerit bangsaku sedang berjuang
Merintih ke langit
(Nursyamsu)
f Septime, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris (tujuh seuntai).
Contoh:
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulaudi lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilimpahi air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya.
(Muh. Yamin)
g Stanza / Oktava, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris (double kutrain atau puisi delapan seuntai).
Contoh:
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa sendiri
Bertambah halus, akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupaan teduh tenang.
(Sanusi Pane)
h Soneta, adalah puisi yang terdiri atas empat belas baris yang terbagi menjadi dua, dua bait pertama masing-masing empat baris dan dua bait kedua masing-masing tiga baris. Soneta berasal dari kata sonneto (Itali) perubahan dari kata sono yang berarti suara. Jadi dapat dikatakan bahwa soneta adalah puisi yang bersuara. Di Indonesia soneta masuk dari negeri Belanda diperkenalkan oleh Muh. Yamin dan Roestam Effendi, karena itulah mereka berdualah yang dianggap sebagai ”Pelopor/Bapak Soneta Indonesia”. Bentuk soneta Indonesia tidak lagi tunduk pada syarat-syarat soneta Italia atau Inggris, tetapi lebih mempunyai kebebasan dalam segi isi maupun rimanya. Yang menjadi pegangan adalah jumlah barisnya (empat belas baris).
Soneta (dari Itali), syarat-syaratnya sebagai berikut.
– Terdiri 14 baris, terbagi atas dua kuatren (oktaf) dan dua tersina (sekstet).
– Oktaf (8 baris I) melukiskan alam (sampiran), sekstet (6 baris ke II) kesimpulan dari apa yang dikiaskan pada oktaf.
– Peralihan dari oktaf ke sekstet disebut volta.
– Rima akhirnya: a b b a (kuatren I); a b b a (kuatren II); a d c (tersina I); d c d (tersina II)
Soneta Inggris (soneta Shakespeare) syarat-syaratnya sebagai berikut.
– terdiri atas tiga kuatren dan satu distikon.
– Inti sarinya terkandung dalam distikon yang disebut cauda/koda (ekor).
Rumus akhirnya:a b a b / c d c d / e f e f / g g.
Contoh:
Gita Gembala
Lemah gemulai lembut derana
Bertiuplah angin sepantun rebut
Menuju gunung arah ke sana
Membawa awan bercampur kabut
Dahan bergoyang sambut menyambut
Menjatuhkan embun jernih warnanya
Menimpa bumi beruap dan lembut
Sebagai benda tiada berguna
Jauh di sana diliputi awan
Terdengar olehku bunyi nan rawan
Seperti permata di dada perawan
Alangkah berahi rasanya jantung
Mendengarkan bunyi suara kelintung
Melagukan gembala membawa untung
(Muh. Yamin)
i Sanjak Bebas, adalah suatu bentuk sanjak yang tidak dapat diberi nama dengan nama-nama yang sudah tertentu baik dalam puisi lama maupun puisi baru. Yang dipentingkan dalam jenis ini adalah kandungan isi bukan bentuk. Kandungan isi dimaksudkan sebagai ekspresi bebas dari jiwanya, dari pengungkapan rasa pribadinya. kalau perlu bahasa pun dapat tunduk kepada isinya. Sanjak-sanjak ini merupakan salah ciri angkatan 45, sebuah salah satu perwujudan dari gelora jiwanya.
Contoh:
Aku
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sanjak karya Chairil Anwar di atas menggambarkan pemberontakan jiwanya, semangat hidupnya yang menuntut kebebasan.
2. Jenis Puisi baru berdasarkan isinya dibagi sebagai berikut:
a Balada. Balada adalah puisi yang berisi kisah cerita.
b Romance.Romance ialah puisi yang berisi luapan perasaan kasih sayang terhadap kekasihnya.
c Elegi. Elegi ialah sajak atau puisi bersedih-sedih, suara sukma yang meratap-ratap, batin yang merintih.
d Ode. Ode ialah sajak yang berisi pujian dan sanjungan terhadap seseorang yang besar jasanya dalam masyarakat, seseorang yang dianggap pahlawan bangsa karena darma baktinya kepada nusa dan bangsa.
e Himne. Himne ialah sajak pujian kepada Tuhan atau sajak keagamaan.
f Epigram. Epigram ialah sajak yang berisi ajaran hidup, semangat perjuangan.
g Satire. Satire ialah sajak yang berisi kritik atau sindiran yang pedas atau kepincangan-kepincangan yang terlihat dalam masyarakat
E. Puisi Kontemporer
Puisi Kontemporer adalah puisi yang sudah tidak menggunakan kaidah penulisan puisi pada umumnya, puisi kontemporer sudah jauh lebih bebas dari segala aturan seperti yang ada pada puisi lama dan bahkan puisi baru. Puisi kontemporer biasanya mengutamakan isi daripada bentuknya. Misalnya, rima, irama dan yang lainnya, tidak lagi terlalu diperhatikan dalam penyusunan puisi kontemporer.
Puisi kontemporer adalah bentuk puisi kekinian. Puisi tidak lagi dipandang sebagai karya sastra yang terikat oleh bentuk dan rima, tetapi sebuah puisi diciptakan untuk menyampaikan gagasan. Chairil Anwar dipandang sebagai pelopor revolusi bentuk puisi. Baginya bentuk puisi itu tidak penting. Yang penting adalah ujud pengucapan bantin.
Sebenarnya puisi-puisi Chairil Anwar pun sudah dapat dikatakan sebagai puisi kontemporer karena bentuk fisik puisinya menjadi contoh penyair-penyair berikutnya, bahkan sampai sekarang. Namun, istilah kontemporer sendiri mulai poluper pada era 70-an. Sutardji Calzoum Bahcri sebagai pelopornya.
Sutarji Calzoum Bachri menulis puisi menempatkan bentuk fisik puisi dalam kedudukan yang terpenting. Pengulangan kata dan bunyi adalah kekuatan puisinya. Sutardji ingin mengembalikan puisi pada pada hakikatnya, yaitu sebagai doa. Bentuk doa selalu ada persamaan ritma layaknya sebuah mantra.
Puisi Kontemporer lebih mengutamakan unsur fisiknya karena lebih mementingkan tipografi dengan gambar atau bentuk grafisnya (Waluy, 1995: 5-22). Sutardji Calzum Bachri dianggap sebagai pembaharu dunia puisi Indonesia dan termasuk pelopor puisi Kontemporer. Sutardji mementingkan bentuk fisik (bunyi). Ulangan kata, frasa,dan bunyi menjadi kekuatan puisinya.
Meskipun puisi kontemporer telah bebas dari segala aturan seperti yang mengikat pada puisi lama dan bahkan puisi baru, tetapi ia tetap berbentuk puisi yang memiliki perbedaan dengan karya sastra yang lain. Karya sastra puisi tetap menggunakan bahasa yang singkat dan padat. Pemilihan kata atau diksi dalam puisi juga harus sangat selektif dan ketat. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi harus diperhitungkan dari berbagai segi, seperti makna, kekuatan citraan, dan jangkauan simboliknya.
Puisi kontemporer bisa dibedakan menjadi beberapa ragam sebagai berikut:
1. Puisi Tanpa Kata, yaitu puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain.
2. Puisi Mini Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata dalam jumlah yang sangat sedikit, dilengkapi dengan symbol lain yang berupa huruf, garis, titik, atau tanda baca lain.
3. Puisi Multi Lingual, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata atau kalimat dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing.
4. Puisi Tipografi, yaitu puisi kontemporer yang memandang bentuk atau wujud fisik puisi mampu memperkuat ekspresi puisi. Bahkan wujud fisik puisi dipandangg sebagai salahh satu unsure puisi, sebagai suatu tanda yang memiliki makna tertentu, yang tidak terlepas dari keseluruhan makna puisi.
5. Puisi Supra Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata-kata konvensional yang dijungkir-balikkan atau penciptaan kata-kata baru yang belum pernah ada dalam kosakata bahasa Indonesia. Puisi macam ini lebih mementingkan aspek bunyi dan ritme, sehingga merangsang timbulnya suasana magis (cenderung sebagai puisi mantra).
6. Puisi Idiom Baru. Puisi ini dibedakan dengan puisi konvensional terutama oleh penggunaan idiom-idiom baru yang terdapat didalamnya. Puisi idiom baru tetap menggunakan kata sebagai alat ekspresinya, tetapi kata tersebut dibentuk dan diungkapkan dengan cara baru, diberi nyawa baru. Digunakan idiom-idiom baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
7. Puisi Mbeling. Puisi ini pada umumnya mengandung unsur humor, bercorak kelakar. Dalam puisi ini sering terdapat unsure kritik, terutama kritik sosial. Puisi mbeling tidak meng’haram’kan penggunaan suatu kata. Semua kata mempunyai hak yang sama dalam penulisan puisi ini.
Contoh puisi kontemporer karya Sutardji
Tradi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
sih
ku
Dalam puisi di atas bentuk grafis sangat dipentingkan penyair, bukan hanya penyair menulis dengan bentuk zigzag, tapi juga penyair ingin menyampaikan gagasan lewat pengulangan kata yang dibolak-balik. Di sinilah kenapa Sutardji dipandang sebagai bapak pembaharu puisi kontemporer karena dia sudah berani mengobok-obok bentuk puisi lama yang dalam penyampaianya selalu dalam bentuk bait empat baris.Dalam bentuk fisik puisi yang tidak biasa itu Sutardji menyampaikan gagasan lewat kata yang sederhana menjadi sangat rumit dan bermakna. Kata yang ditulis hanya kawin dan kasih. Namun, di tangan Sutardji kedua kata itu menjadi kata yang luar biasa yang mempunyai makna tersembuyi di balik bentuk zigzag dan bolak-balik kata. Tanpa membuat kata tersebut kehilangan makna.
Contoh lain sajak kontemporer yang mementingkan bentuk fisik adalah karya Ibrahim Sattah
Firman
: Kun
(buat tanda salib)
Adalah malaikat yang dekat denganMu yang duduk dalam halaMu yang senantiasa sujud yang senantiasa kabut telah lebih dulu raga tatkala berkabar Engkau kepadanya.
dan
Allah tiada Tuhan selain Dia
dan
Adam yang tak sedap diam
dan
iblis
mematahkan alif
dan
pohon tegahan
membuahkan
firman
dan
angin
dan
api
dan
debu
dan
air
mengalir
dari sabda-Nya
dan
sihir
Yang meniup dengan ludah
Di bumi ini pun
hadir
: Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui
Tuhankuberikan padaku
Firman
Itu
1974
Contoh puisi kontemporer:
Amuk
Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
Lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
Gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
Darahku dia besar dia bukan harimau bu
Kan singa bukan hiena bukan leopar dia
Macam kucing bukan kucing tapi kucing
Ngiau dia lapar dia menambah rimba af
Rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
Dia meraung dia mengerang dangan beri
Daging dia tak mau daging jesus dangan
Beri roti dia tak mau ngiau.
contoh di atas adalah bentuk puisi kontemporer yang sampai sekarang banyak ditiru oleh penyair-penyair muda yang berbakat. Jika puisi lama lebih lebih menunjukan kesimbangan peranan bentuk fisik yang ditonjolkan pada rima, dengan bentuk batin, puisi baru lebih menonjolkan bentuk batin dan gagasan, sedangkan puisi kontemporer lebih menonjolkan struktur fisik dalam menyampaikan gagasan.
F. Menganalisis Puisi
1. Menyebutkan tema puisi
Tema puisi adalah dasar, jiwa, atau isu utama yang menjadi pijakan terciptanya puisi. Tema puisi merupakan salah satu unsur intrinsik puisi. Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang ada dalam puisi, baik tersurat maupun tersirat. Unsur-unsur tersebut, antara lain,tema, diksi, rima, makna, dan amanat. Untuk memahami tema puisi, Anda harus memahami unsur-unsur intrinsik puisi tersebut. Cobalah pahami puisi berikut!
Bungaku Bersemi
Karya: Ach. Makmun Baqir
Bungaku kini bersemi
setelah sewindu terkurung
di lembah sunyi.
Dedaunan yang berguguran
reranting yang dahulu kering
kini telah biru kembali
membentuk singgasana
di tengah pusaran angin.
Tiada sia-sia kiranya
kusirami taman
di kala kemarau murka.
Bungaku kembali bersemi
hatiku kini bersemi.
2. Menjelaskan makna puisi
Makna puisi adalah arti atau maksud atau isi yang terkandung dalam puisi yang dapat ditangkap oleh pembaca sesuai tingkat pengalaman dan pengetahuannya. Oleh karena itu, makna puisi akan berbeda-beda manakala penafsirnya tidak sama. Bahkan, bukan tidak mungkin akan bertolak belakang. Dalam penafsiran, pasti akan ada unsur subjektivitas. Kedewasaan, kemantapan pengalaman, dan pengetahuan penafsir akan menentukan mutu rumusan makna puisi. Dengan demikian, hanya penyairnya yang tahu makna persis puisi tersebut.
Beberapa hal yang berkaitan dengan apresiasi puisi adalah pemahaman terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik puisi meliputi tema, diksi, bait/larik, rima, makna, amanat. Adapun unsur ekstrinsiknya adalah latar belakang penulis, keadaan masyarakat pada saat puisi tersebut digubah, sosial, politik, adat, dan sebagainya. Untuk lebih meningkatkan daya apresiasi Anda terhadap puisi, cobalah pahami makna puisi berjudul ”Bungaku Bersemi”
G. Membaca pusi
Membaca puisi merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengapresiasi atau menghargai, menghayati, dan menikmatinya. Dalam pembacaan puisi perlu diperhatikan lafal, tekanan/stres, intonasi, volume suara, dan penampilan/performa yang mencakup gaya dan sikap (untuk pembacaan yang disaksikan langsung atau di atas panggung).
a Lafal adalah cara seseorang mengucapkan atau menuturkan bunyi bahasa. Jika lafal seseorang baik, aka bunyi bahasa yang diucapkannya akan mudah dan jelas ditangkap oleh pendengar.
b Tekanan/stres/aksen adalah keras lembutnya pengucapan kata, kalimat, atau baris dalam puisi. Maksud adanya aksentuasi adalah untuk menegaskan bagian-bagian yang dirasa lebih penting daripada bagian lain.
c Intonasi atau lagu kalimat adalah ketepatan tinggi rendah nada dalam pembacaan puisi sehingga suara pembaca tidak monoton tetapi berirama. Intonasi sebenarnya merupakan gabungan dari berbagai unsur, di antaranya nada, tempo, irama/ritme, tekanan, dan volume suara.

dapat pula mengunjungi 
http://sugikmaut.blog.com/?p=25
http://www.scribd.com/lelosrh/d/19174256-PUISI

Kamis, 22 Maret 2012

Mendengar dan Kominikasi yang Efektif

Seni Mendengar


Banyak orang bisa 'berkata', namun
sedikit yang mau 'mendengar'.

Padahal jika kita mau kembali ke hukum
alam, seharusnya kita harus lebih
banyak mendengar daripada bicara.
Bukankah Tuhan memberi kita dua
telinga dan hanya satu mulut? :-)

Begitupun jika kita saksikan pada bayi
yang baru lahir. Indra pendengaran
lebih dulu berfungsi daripada yang
lainnya. Lalu, mengapa mendengar lebih
susah daripada berbicara?

Meski secara kasat mata mendengar
adalah hal yang gampang, namun nyatanya
banyak orang yang lebih suka
didengarkan daripada mendengarkan.
Mendengarkan merupakan bagian esensi
yang menentukan komunikasi efektif.
Tanpa kemampuan mendengar yang bagus,
biasanya akan muncul banyak masalah.

Yang sering terjadi, kita merasa bahwa
kitalah yang paling benar. Kita tidak
tertarik untuk mendengarkan opini yang
berbeda dan hanya tergantung pada cara
kita.

Selalu merasa benar, paling kompeten,
dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Duh... malaikat kali! :-)

Jika kita selalu merasa bahwa diri kita
benar, dan cara kitalah yang paling
tepat, itu berarti kita tidak pernah
mendengarkan.

Ide dan opini kita sangat sukar untuk
diubah jika fakta tidak mendukung
keyakinan kita. Bahkan kalau ada fakta
pun kita mungkin hanya akan sekedar
meliriknya saja.

Mungkin saat ini kita nyaman dengan
cara kita, tapi untuk jangka waktu yg
panjang, orang-orang akan menolak dan
membenci kita.

Jika kita mau mulai mendengarkan
orang lain, maka suatu saat kita akan
menyadari kesalahan kita. Jawaban
untuk mengatasi sifat ini adalah
mengasah skill mendengar aktif.

Mendengar tidak selalu dengan tutup
mulut, tapi juga melibatkan partisipasi
aktif kita. Mendengar yang baik bukan
berharap datangnya giliran berbicara.

Mendengar adalah komitmen untuk
memahami pembicaraan dan perasaan lawan
bicara kita. Ini juga sebagai bentuk
penghargaan bahwa apa yang orang lain
bicarakan adalah bermanfaat untuk kita.
Pada saat yang sama kita juga bisa
mengambil manfaat yang maksimal dari
pembicaraan tersebut.

Seni mendengar dapat membangun sebuah
relationship. Jika kita melakukannya
dengan baik, orang-orang akan tertarik
dengan kita dan interaksi kita akan
semakin harmonis.

Berikut teknik mudah yang dapat
dipraktekkan oleh Supendi dengan sangat
wajar untuk menjadi seorang pendengar
yang baik :
1. Peliharalah kontak mata dengan baik.
    Ini menunjukkan kepada lawan bicara
    tentang keterbukaan dan kesungguhan
    kita
2. Condongkan tubuh ke depan.
    Ini menunjukkan ketertarikan kita
    pada topik pembicaraan. Cara ini
    juga akan mengingatkan kita untuk
    memiliki sudat pandang yang lain,
    yaitu tidak hanya fokus pada diri
    kita.
3. Buat pertanyaan ketika ada hal yang
    butuh klarifikasi atau ada informasi
    baru yang perlu kita selidiki dari
    lawan bicara kita.
4. Buat selingan pembicaraan yang
    menarik. Hal ini bisa membuat
    percakapan lebih hidup dan tidak
    monoton.
5. Cuplik atau ulang beberapa kata
    yang diucapkan oleh lawan bicara kita.
    Ini menunjukkan bahwa kita memang
    mendengarkan dengan baik hingga hapal
    beberapa cuplikan kata.
6. Buatlah komitmen untuk memahami
    apa yang ia katakan, meskipun kita tidak
    suka atau marah. Dari sini kita akan
    mengetahui nilai-nilai yang diterapkan
    lawan bicara kita, yang mungkin berbeda
    dengan nilai yang kita terapkan.

Dengan berusaha untuk memahami, bisa
jadi kita akan menemukan sudut pandang,
wawasan, persepsi atau kesadaran baru,
yang tidak terpikirkan oleh kita
sebelumnya.

Seorang pendengar yang baik sebenarnya
hampir sama menariknya dengan pembicara
yang baik. Jika kita selalu pada pola
yang benar untuk jangka waktu tertentu,
maka suatu saat kita akan merasakan
manfaatnya.

Prosesnya mungkin akan terasa lama dan
menjemukan, tapi lama-kelamaan akan
terasa berharganya upaya yang telah
kita lakukan. Kita akan merasa lebih
baik atas diri kita, hubungan kita,
teman-teman kita, anak-anak kita,
maupun pekerjaan.
Kesimpulan: Jadilah pendengar yang
baik, karena sifat ini bisa menjadi
kunci untuk mengembangkan pikiran
yang positif
, dan merupakan salah satu
tangga Supendi untuk mencapai kesuksesan! :-)

Minggu depan saya akan mengirimkan
artikel tentang "Tips Bagaimana
Menciptakan Perubahan"

So, cek selalu emailnya, dan tunggu
tulisan dari saya berikutnya! :-)

Rabu, 21 Maret 2012

MAKALAH CERPEN DARI JAWA POS KARYA M. SHOIM ANWAR BERJUDUL SULASTRI DAN EMPAT LELAKI DAN SINOPSISIS GALAU PUTRI CALON ARANG KARYA GALAU FEMMY SYAHRANI DAN YULYANA OLEH SUPENDI

-->
-->
CERPEN DARI JAWA POS KARYA M. SHOIM ANWAR
 BERJUDUL SULASTRI DAN EMPAT LELAKI
DAN
SINOPSISIS GALAU PUTRI CALON ARANG
KARYA GALAU FEMMY SYAHRANI DAN YULYANA

Ini Disusunkan Untuk Memenuhi Tugas Pembelajaran Sastra
Mata Kuliah Psikolinguistik

Dosen Pembimbing:
Sariban, M.Pd.


Oleh: Supendi
NIM: 09321332


UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
 2012




Sulastri dan Empat Lelaki
SUPENDI, PBSI, 5B SORE, ANGKATAN 2009

            Laut menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga.  Ini adalah laut merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligis bergerak dipermukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai mengyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari  negeri jauh melalui lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Jordania, cuaca terasa membara.
            Sementra tak jauh dari sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor Gagak masih nampak mnenuju arah ke sananya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak bertebrangan menyiisiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.
            Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh memucat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya.  Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya. Ketika melihat ke bawah.
            “Hai..!” seru polisi dari arah pos. perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak nmenjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
            “Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,”  kata perempuan tadi terbata-bata,  menunjukkan nama dan asalnya.
            “Sulastriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
            “ Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulasriy?” Sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulasri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar sulastri turun dari tanggul.
            “Na’am?” lelaki itu meminta.
            “Laa,” Sulasri menggeleng pelan.
            Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang cokelat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul keawatiran pada diri Sulastri.  Ketika polisi itu hampir sampai ke atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat.  Sang pulisi mengikuti dengan langkah cepat pula.keduanya tampak seperti berkejaran. Sampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
            Sulastri tahu, polisi tak akan menangkap tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan bebebrapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu riyal per orang, lalu diserahkan kepada para perantara  yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu riyal per orang, konon polisi akan menerima tujuh ratus riyal per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan, tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata dari negeri Sulastri sendiri.
            Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukaan. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot . bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.
            Di bibir Laut Merah, Sulasti teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari desa Tegal Rejo dia menatap keseberang sungai ke arah desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirinduni pepohonan besar. Di sana ada seseorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bermana Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bewngawan Solo.
            ”Sudah dapat?” tanya sulastri. Seperti biasa, markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakaiannya yang basah.
            “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Permainan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
            Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh janggut.
            “Kau bukan Siddartha, sang pertapa Gotama dari kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anka!”
            Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyebrangi bengawan. Di siini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Musium Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.
            “Bayangan sang suami mulai menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang mulai datang. Laut Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Sulasri terjingkat. Sesosok gai sang penerkam sekonyong-konyong nubcul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
            “Firauuun…!”
            Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pemakaina gemerlap yang menutup pusar hingga lutut, Firaun telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Dihadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana kemari dengan tergesa, mencari-cari orang yang dikenal sebagi penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri bertriak padanya untuk minta tolong. Tapi, sang polisi tak menberi reaksi berarti. Dia hanya melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kenmudian kembali masuk pos.
            “Tak usah takut hai budak!” kata Firaun.
“Aku bukan budak…”
            “Ooo… siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku, semuanya adalah aku!”
            Sulasrti tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulasrti dengan cepat berbalik arah dan berlari.
            “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
            Sulasrti terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, main cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulasrti berhenti, tapi yang dikejar tak menghiraukannya. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulasrti meloncat dari atas tanggul.
            Sulasrti terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajahnya tampak teduh. Tangannya menbawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut mana lelaki di hadapannya, “ya, Musa…”
            Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdirikukuh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.
            “Tolonglah saya, ya Musa,” pinta Sulastri.
            “Kau masik ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab musa dengan suara besar menggema.
            “Saya ditelantarkan suami, ya Musa.”
            “Suamimu seorang penyembah berhala, mengapa kau bergantung padanya?”
            “Saya seorang perempuan.”
            “Perempuan tahu laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
            “Negeri kami miskin, ya Musa.”
            “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
            “Kami tidak punya pekerjaan, ya Musa.”
            “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas.”
            “Kami menderita, ya Musa.”
            “Para pemimpin negerimu serakah.”
            “Kami tak kebagian, ya Musa.”
            “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
            “Kami tidak memeroleh keadilan, ya Musa.”
            “Di negerimu keadilan telah menjadi selogan.”
            “Tolonglah saya, ya Musa…”
            Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dari pandangan Sulastri. Dari atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
            “Wa maadzaa turiidiina aidlom?” polisi bertanya apalagi yang diinginkan Sulastri.
            “Tolong… tolonglah saya….”
            Polisi menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung. Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang hampir menangkapnya. Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hampir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastriyang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itupun jebol dari akarnya.
            Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapanya. Tapi, kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda digegamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegangnya kuat-kuat dengan kedua tanganya.  
            Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun menjadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dar dalam laut Sulastri meliihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
            Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadinya dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anaki-anak dan famili. Burung Elang melayang tinggi di atasnya, memekik melengking ke telinga Sulastri.
                                                                       

Oleh                 : M. Shoim Anwar
  Di Surabaya, September, 2011.
Sumber                        : Jawa Pos, Minggu, 6 November 2011























Karya: Femmy Syahrani dan Yulyana

184 Halaman
Terbit Tahun 2005
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama


Sekilas Cerita
Cerita ini bermula di Dusun Girah, sebuah desa kecil di Kerajaan Kahuripan. Tinggallah Calon Arang bersama putrinya, Ratna Manggali. Calon Arang resah, karena hingga anak gadisnya dewasa, tidak ada pemuda yang melamarnya. Padahal, Ratna Manggali adalah gadis yang cantik, lagi baik.
Suatu hari, Ratna Manggali digoda oleh seorang laki-laki yang diketahui telah beristri. Laki-laki itu bahkan ingin melamar Ratna Manggali. Manggali menolak dengan halus, sebab ia tidak suka sifat dan karakternya yang tidak baik. Tidak disangka, seketika itu juga ia menyaksikan tubuh laki-laki itu terbakar oleh api yang besar dan membunuhnya.
Calon Arang sangat menyayangi putrinya. Karena itu, ia sangat marah bila ada orang-orang atau pemuda yang merendahkan putrinya. Ia membuat teluh pada penduduk setempat yang berakibat kematian. Hal itu meresahkan penduduk, dan akhirnya tersiar ke Raja Airlangga. Airlangga mengutus prajurit terbaiknya untuk menumpas Calon Arang yang adalah ibunya sendiri. Prajuritnya tidak mampu menandingi kesaktian Calon Arang. Calon Arang semakin marah karena Airlangga hendak membunuhnya. Ia semakin gencar mengirimkan teluh kepada seluruh penduduk negeri. Hal itu membuat Airlangga resah, ia berdiskusi dengan Mpu Baradah, dan diputuskan untuk mengirimkan Bahula untuk menikahi Ratna Manggali, namun tujuan utamanya adalah mengambil kitab ilmu Calon Arang, sebab untuk menaklukkan ilmu Calon Arang, Mpu Baradah perlu mempelajari kitab itu.
Singkat cerita, kitab ini berhasil dibawa ke Mpu Baradah. Mpu Baradah bersama anak buahnya bertempur melawan Calon Arang. Mpu Baradah berhasil membunuh Calon Arang, dan Kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua kerajaan. Bagian Utara itu wilayah Daha, bagian Selatan itu wilayah Kediri.                                                                                                        

Kekuatan Sekaligus Kelemahan
Saya mencoba melihat dari sudut pandang Calon Arang. Ia adalah seorang ibu. Ibu yang mengayomi dan melindungi. Tentunya tidak mudah hidup sebagai seorang janda dengan seorang anak perempuan. Saya menyebut beruntung Calon Arang adalah keluarga bangsawan. Cerita ini akan berbeda bila Calon Arang adalah orang biasa yang tidak punya latar belakang bangsawan dan ilmu tinggi.
Sebagai seorang ibu, ia memastikan bahwa calon suami anaknya kelak adalah orang yang baik. Pada dasarnya ia juga ingin meneruskan keturunan keluarganya dari Ratna Manggali. Apakah ada pembedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan? Dalam hal ini Calon Arang membela anak perempuannya. Ia tidak menginginkan Ratna Manggali menjadi perawan tua, tapi tidak ingin juga orang/pemuda lain menghina Ratna Manggali. Inilah kekuatan Calon Arang.
Janda dan Perawan Tua. Peristilahan ini diwakili oleh Calon Arang dan Ratna Manggali. Sebuah ketakutan sekaligus sekaligus menjadi alat yang ampuh? melukai hati perempuan. Sosok Calon Arang tak mau terjebak dengan stereotip negatif tersebut.

Etis tidak etis
Walau dalam cerita ini, Calon Arang adalah seorang musuh Raja, namun ia masih menunjukkan sikap dewasa. Sebagai contoh, ketika ia menerima Bahula menjadi calon menantunya. Ia tahu dalam hatinya bahwa Bahula ada utusan Raja Airlangga yang mencoba membunuhnya. Ia juga tahu bahwa motivasi Bahula datang ke Dusun Girah adalah semata-mata karena perintah Mpu Bharada, bukan atas nama cinta.
Setiap tindakan orang untuk meraih tujuan, didasarkan pada motivasi atau alasan. Tinggal masing-masing kita menilai, etiskah tindakan saya? Baik Raja Airlangga dan Calon Arang adalah orang-orang yang berambisi mencapai tujuan. Calon Arang berambisi menghabisi orang-orang yang menghina ia dan anaknya, sementara Airlangga berambisi untuk menangkap Calon Arang demi mewujudkan Kerajaan Kahuripan yang damai sentosa. Namun beberapa tindakan yang bisa kita nilai tidak etis adalah sebagai berikut.
Pertama, tindakan Airlangga yang mengirimkan pasukan khusus untuk menumpas Calon Arang. Mengapa ia tidak menyelidiki desas desus dulu sebelum mengambil keputusan menyerang? Bukankah ia tahu bahwa Calon Arang adalah ibunya? Apakah tidak lebih baik melakukan pendekatan secara kekeluargaan alih-alih kekerasan?
Kedua, keputusan untuk mengirim Bahula menjadi menantu Calon Arang. Jelas-jelas motivasi perkawinan itu untuk mendapatkan rahasia kekuatan Calon Arang. Sepertinya Airlangga dan penasihatnya telah kehabisan akal. Menurut taktik perang, strategi ini cukup jitu, sebab lewat jalur fisik (baca: perang) tidak mungkin memeroleh kemenangan selain mengetahui dari dalam apa rahasia kekuatan musuh. Toh di cerita selanjutnya, diceritakan kalau si Bahula akhirnya mengasihi sepenuhnya Ratna Manggali.
Ketiga, Bahula mengkhianati Calon Arang. Landasan utama perkawinan Bahula dengan Ratna Manggali adalah kitab ilmu Calon Arang. Ia sendiri membujuk Ratna Manggali untuk mengambil kitab ibunya, dengan alasan agar orang-orang tidak bertambah banyak mati karena teluh Calon Arang. Seandainya cerita terus berlanjut, bagaimana kelak ketika anak mereka menanyakan, "dimana nenekku?" Apa jawab Bahula?
Keempat, mengapa tidak Raja Airlangga sendiri yang datang ke Calon Arang, seraya memohon agar ibunya tidak lagi mengirimkan teluh. Seharusnya, jika ia mengetahui apa yang menjadi awal kemarahan Calon Arang, ia akan menghukum orang yang menghina ibu dan saudara perempuannya. Teluh yang dilakukan Calon Arang seperti hukum aksi-reaksi. Tidak akan ada teluh jika tidak ada pemicunya. Boleh jadi, teluh yang dikirimkan adalah bentuk pembelaan diri.
Apakah tujuan "Demi Keutuhan Bangsa dan Negara" masih relevan dengan penghilangan nyawa seseorang? Entahlah pada masa cerita ini hal itu cukup wajar jika raja saking berkuasanya, baginya biasa untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap mengganggu. Bukankah masih terjadi hal demikian di negeri kita ini? ketika masa pemerintahan Orde Baru, tanpa pendekatan persuasif, adalah sebuah kejadian wajar jika orang-orang yang dianggap menyebabkan disintegrasi menghilang tanpa jejak dan lenyap.

Warisan
Bagaimanapun, cerita Calon Arang meninggalkan warisan budaya bagi bangsa kita, terutama bagi Orang Bali. Calon Arang menjadi sosok yang kental untuk sebuah pertunjukan tari, teater dan upacara. Ilmu yang dimiliki Calon Arang diduga sekarang adalah yang dinamakan WikiLeak itu. Lukisan-lukisan yang menggambarkan Calon Arang banyak dibuat oleh pelukis Bali. Dan prasangka orang-orang pada Leak pun, tetap miring, yaitu perwujudan kekuatan jahat. Apakah itu karena rupa Leak yang digambarkan di lukisan atau di pagelaran tari jelek buruk rupa: mata membelalak, lidah panjang keluar, dan cakar panjang? Ah entahlah.