Rabu, 21 Maret 2012

MAKALAH CERPEN DARI JAWA POS KARYA M. SHOIM ANWAR BERJUDUL SULASTRI DAN EMPAT LELAKI DAN SINOPSISIS GALAU PUTRI CALON ARANG KARYA GALAU FEMMY SYAHRANI DAN YULYANA OLEH SUPENDI

-->
-->
CERPEN DARI JAWA POS KARYA M. SHOIM ANWAR
 BERJUDUL SULASTRI DAN EMPAT LELAKI
DAN
SINOPSISIS GALAU PUTRI CALON ARANG
KARYA GALAU FEMMY SYAHRANI DAN YULYANA

Ini Disusunkan Untuk Memenuhi Tugas Pembelajaran Sastra
Mata Kuliah Psikolinguistik

Dosen Pembimbing:
Sariban, M.Pd.


Oleh: Supendi
NIM: 09321332


UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
 2012




Sulastri dan Empat Lelaki
SUPENDI, PBSI, 5B SORE, ANGKATAN 2009

            Laut menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga.  Ini adalah laut merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligis bergerak dipermukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai mengyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari  negeri jauh melalui lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Jordania, cuaca terasa membara.
            Sementra tak jauh dari sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor Gagak masih nampak mnenuju arah ke sananya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak bertebrangan menyiisiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.
            Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh memucat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya.  Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya. Ketika melihat ke bawah.
            “Hai..!” seru polisi dari arah pos. perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak nmenjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
            “Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,”  kata perempuan tadi terbata-bata,  menunjukkan nama dan asalnya.
            “Sulastriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
            “ Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulasriy?” Sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulasri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar sulastri turun dari tanggul.
            “Na’am?” lelaki itu meminta.
            “Laa,” Sulasri menggeleng pelan.
            Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang cokelat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul keawatiran pada diri Sulastri.  Ketika polisi itu hampir sampai ke atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat.  Sang pulisi mengikuti dengan langkah cepat pula.keduanya tampak seperti berkejaran. Sampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
            Sulastri tahu, polisi tak akan menangkap tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan bebebrapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu riyal per orang, lalu diserahkan kepada para perantara  yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu riyal per orang, konon polisi akan menerima tujuh ratus riyal per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan, tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata dari negeri Sulastri sendiri.
            Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukaan. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot . bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.
            Di bibir Laut Merah, Sulasti teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari desa Tegal Rejo dia menatap keseberang sungai ke arah desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirinduni pepohonan besar. Di sana ada seseorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bermana Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bewngawan Solo.
            ”Sudah dapat?” tanya sulastri. Seperti biasa, markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakaiannya yang basah.
            “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Permainan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
            Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh janggut.
            “Kau bukan Siddartha, sang pertapa Gotama dari kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anka!”
            Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyebrangi bengawan. Di siini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Musium Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.
            “Bayangan sang suami mulai menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang mulai datang. Laut Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Sulasri terjingkat. Sesosok gai sang penerkam sekonyong-konyong nubcul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
            “Firauuun…!”
            Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pemakaina gemerlap yang menutup pusar hingga lutut, Firaun telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Dihadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana kemari dengan tergesa, mencari-cari orang yang dikenal sebagi penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri bertriak padanya untuk minta tolong. Tapi, sang polisi tak menberi reaksi berarti. Dia hanya melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kenmudian kembali masuk pos.
            “Tak usah takut hai budak!” kata Firaun.
“Aku bukan budak…”
            “Ooo… siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku, semuanya adalah aku!”
            Sulasrti tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulasrti dengan cepat berbalik arah dan berlari.
            “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
            Sulasrti terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, main cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulasrti berhenti, tapi yang dikejar tak menghiraukannya. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulasrti meloncat dari atas tanggul.
            Sulasrti terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajahnya tampak teduh. Tangannya menbawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut mana lelaki di hadapannya, “ya, Musa…”
            Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdirikukuh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.
            “Tolonglah saya, ya Musa,” pinta Sulastri.
            “Kau masik ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab musa dengan suara besar menggema.
            “Saya ditelantarkan suami, ya Musa.”
            “Suamimu seorang penyembah berhala, mengapa kau bergantung padanya?”
            “Saya seorang perempuan.”
            “Perempuan tahu laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
            “Negeri kami miskin, ya Musa.”
            “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
            “Kami tidak punya pekerjaan, ya Musa.”
            “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas.”
            “Kami menderita, ya Musa.”
            “Para pemimpin negerimu serakah.”
            “Kami tak kebagian, ya Musa.”
            “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
            “Kami tidak memeroleh keadilan, ya Musa.”
            “Di negerimu keadilan telah menjadi selogan.”
            “Tolonglah saya, ya Musa…”
            Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dari pandangan Sulastri. Dari atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
            “Wa maadzaa turiidiina aidlom?” polisi bertanya apalagi yang diinginkan Sulastri.
            “Tolong… tolonglah saya….”
            Polisi menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung. Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang hampir menangkapnya. Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hampir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastriyang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itupun jebol dari akarnya.
            Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapanya. Tapi, kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda digegamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegangnya kuat-kuat dengan kedua tanganya.  
            Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun menjadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dar dalam laut Sulastri meliihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
            Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadinya dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anaki-anak dan famili. Burung Elang melayang tinggi di atasnya, memekik melengking ke telinga Sulastri.
                                                                       

Oleh                 : M. Shoim Anwar
  Di Surabaya, September, 2011.
Sumber                        : Jawa Pos, Minggu, 6 November 2011























Karya: Femmy Syahrani dan Yulyana

184 Halaman
Terbit Tahun 2005
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama


Sekilas Cerita
Cerita ini bermula di Dusun Girah, sebuah desa kecil di Kerajaan Kahuripan. Tinggallah Calon Arang bersama putrinya, Ratna Manggali. Calon Arang resah, karena hingga anak gadisnya dewasa, tidak ada pemuda yang melamarnya. Padahal, Ratna Manggali adalah gadis yang cantik, lagi baik.
Suatu hari, Ratna Manggali digoda oleh seorang laki-laki yang diketahui telah beristri. Laki-laki itu bahkan ingin melamar Ratna Manggali. Manggali menolak dengan halus, sebab ia tidak suka sifat dan karakternya yang tidak baik. Tidak disangka, seketika itu juga ia menyaksikan tubuh laki-laki itu terbakar oleh api yang besar dan membunuhnya.
Calon Arang sangat menyayangi putrinya. Karena itu, ia sangat marah bila ada orang-orang atau pemuda yang merendahkan putrinya. Ia membuat teluh pada penduduk setempat yang berakibat kematian. Hal itu meresahkan penduduk, dan akhirnya tersiar ke Raja Airlangga. Airlangga mengutus prajurit terbaiknya untuk menumpas Calon Arang yang adalah ibunya sendiri. Prajuritnya tidak mampu menandingi kesaktian Calon Arang. Calon Arang semakin marah karena Airlangga hendak membunuhnya. Ia semakin gencar mengirimkan teluh kepada seluruh penduduk negeri. Hal itu membuat Airlangga resah, ia berdiskusi dengan Mpu Baradah, dan diputuskan untuk mengirimkan Bahula untuk menikahi Ratna Manggali, namun tujuan utamanya adalah mengambil kitab ilmu Calon Arang, sebab untuk menaklukkan ilmu Calon Arang, Mpu Baradah perlu mempelajari kitab itu.
Singkat cerita, kitab ini berhasil dibawa ke Mpu Baradah. Mpu Baradah bersama anak buahnya bertempur melawan Calon Arang. Mpu Baradah berhasil membunuh Calon Arang, dan Kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua kerajaan. Bagian Utara itu wilayah Daha, bagian Selatan itu wilayah Kediri.                                                                                                        

Kekuatan Sekaligus Kelemahan
Saya mencoba melihat dari sudut pandang Calon Arang. Ia adalah seorang ibu. Ibu yang mengayomi dan melindungi. Tentunya tidak mudah hidup sebagai seorang janda dengan seorang anak perempuan. Saya menyebut beruntung Calon Arang adalah keluarga bangsawan. Cerita ini akan berbeda bila Calon Arang adalah orang biasa yang tidak punya latar belakang bangsawan dan ilmu tinggi.
Sebagai seorang ibu, ia memastikan bahwa calon suami anaknya kelak adalah orang yang baik. Pada dasarnya ia juga ingin meneruskan keturunan keluarganya dari Ratna Manggali. Apakah ada pembedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan? Dalam hal ini Calon Arang membela anak perempuannya. Ia tidak menginginkan Ratna Manggali menjadi perawan tua, tapi tidak ingin juga orang/pemuda lain menghina Ratna Manggali. Inilah kekuatan Calon Arang.
Janda dan Perawan Tua. Peristilahan ini diwakili oleh Calon Arang dan Ratna Manggali. Sebuah ketakutan sekaligus sekaligus menjadi alat yang ampuh? melukai hati perempuan. Sosok Calon Arang tak mau terjebak dengan stereotip negatif tersebut.

Etis tidak etis
Walau dalam cerita ini, Calon Arang adalah seorang musuh Raja, namun ia masih menunjukkan sikap dewasa. Sebagai contoh, ketika ia menerima Bahula menjadi calon menantunya. Ia tahu dalam hatinya bahwa Bahula ada utusan Raja Airlangga yang mencoba membunuhnya. Ia juga tahu bahwa motivasi Bahula datang ke Dusun Girah adalah semata-mata karena perintah Mpu Bharada, bukan atas nama cinta.
Setiap tindakan orang untuk meraih tujuan, didasarkan pada motivasi atau alasan. Tinggal masing-masing kita menilai, etiskah tindakan saya? Baik Raja Airlangga dan Calon Arang adalah orang-orang yang berambisi mencapai tujuan. Calon Arang berambisi menghabisi orang-orang yang menghina ia dan anaknya, sementara Airlangga berambisi untuk menangkap Calon Arang demi mewujudkan Kerajaan Kahuripan yang damai sentosa. Namun beberapa tindakan yang bisa kita nilai tidak etis adalah sebagai berikut.
Pertama, tindakan Airlangga yang mengirimkan pasukan khusus untuk menumpas Calon Arang. Mengapa ia tidak menyelidiki desas desus dulu sebelum mengambil keputusan menyerang? Bukankah ia tahu bahwa Calon Arang adalah ibunya? Apakah tidak lebih baik melakukan pendekatan secara kekeluargaan alih-alih kekerasan?
Kedua, keputusan untuk mengirim Bahula menjadi menantu Calon Arang. Jelas-jelas motivasi perkawinan itu untuk mendapatkan rahasia kekuatan Calon Arang. Sepertinya Airlangga dan penasihatnya telah kehabisan akal. Menurut taktik perang, strategi ini cukup jitu, sebab lewat jalur fisik (baca: perang) tidak mungkin memeroleh kemenangan selain mengetahui dari dalam apa rahasia kekuatan musuh. Toh di cerita selanjutnya, diceritakan kalau si Bahula akhirnya mengasihi sepenuhnya Ratna Manggali.
Ketiga, Bahula mengkhianati Calon Arang. Landasan utama perkawinan Bahula dengan Ratna Manggali adalah kitab ilmu Calon Arang. Ia sendiri membujuk Ratna Manggali untuk mengambil kitab ibunya, dengan alasan agar orang-orang tidak bertambah banyak mati karena teluh Calon Arang. Seandainya cerita terus berlanjut, bagaimana kelak ketika anak mereka menanyakan, "dimana nenekku?" Apa jawab Bahula?
Keempat, mengapa tidak Raja Airlangga sendiri yang datang ke Calon Arang, seraya memohon agar ibunya tidak lagi mengirimkan teluh. Seharusnya, jika ia mengetahui apa yang menjadi awal kemarahan Calon Arang, ia akan menghukum orang yang menghina ibu dan saudara perempuannya. Teluh yang dilakukan Calon Arang seperti hukum aksi-reaksi. Tidak akan ada teluh jika tidak ada pemicunya. Boleh jadi, teluh yang dikirimkan adalah bentuk pembelaan diri.
Apakah tujuan "Demi Keutuhan Bangsa dan Negara" masih relevan dengan penghilangan nyawa seseorang? Entahlah pada masa cerita ini hal itu cukup wajar jika raja saking berkuasanya, baginya biasa untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap mengganggu. Bukankah masih terjadi hal demikian di negeri kita ini? ketika masa pemerintahan Orde Baru, tanpa pendekatan persuasif, adalah sebuah kejadian wajar jika orang-orang yang dianggap menyebabkan disintegrasi menghilang tanpa jejak dan lenyap.

Warisan
Bagaimanapun, cerita Calon Arang meninggalkan warisan budaya bagi bangsa kita, terutama bagi Orang Bali. Calon Arang menjadi sosok yang kental untuk sebuah pertunjukan tari, teater dan upacara. Ilmu yang dimiliki Calon Arang diduga sekarang adalah yang dinamakan WikiLeak itu. Lukisan-lukisan yang menggambarkan Calon Arang banyak dibuat oleh pelukis Bali. Dan prasangka orang-orang pada Leak pun, tetap miring, yaitu perwujudan kekuatan jahat. Apakah itu karena rupa Leak yang digambarkan di lukisan atau di pagelaran tari jelek buruk rupa: mata membelalak, lidah panjang keluar, dan cakar panjang? Ah entahlah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar