CERPEN DARI JAWA POS KARYA
M. SHOIM ANWAR
BERJUDUL SULASTRI DAN EMPAT LELAKI
DAN
SINOPSISIS GALAU PUTRI CALON ARANG
Ini Disusunkan
Untuk Memenuhi Tugas Pembelajaran Sastra
Mata Kuliah
Psikolinguistik
Dosen
Pembimbing:
Sariban, M.Pd.
Oleh: Supendi
NIM: 09321332
UNIVERSITAS
ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
2012
Sulastri dan
Empat Lelaki
SUPENDI, PBSI, 5B
SORE, ANGKATAN 2009
Laut menghampar dari pantai hingga
batas tak terhingga. Ini adalah laut
merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligis bergerak dipermukaan.
Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang
berarti. Pantai mengyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah
tampak dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti
kapal-kapal yang merapat dari negeri
jauh melalui lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri sebelah barat,
mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut.
Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Jordania, cuaca terasa
membara.
Sementra tak jauh dari sebelah utara
sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung
datang dan pergi dari sana. Seekor Gagak masih nampak mnenuju arah ke sananya.
Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak bertebrangan menyiisiri di
depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh
kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.
Perempuan itu masih juga berdiri di
atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia
menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh memucat karena tinggi tanggul jauh
dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada
bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat
dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah
pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa
merinding di tengkuknya. Ketika melihat ke bawah.
“Hai..!” seru polisi dari arah pos.
perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak nmenjawab. Tampak ada sesuatu
yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya
diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
“Ismiy Sulastri. Ana
Indonesiya,” kata perempuan tadi
terbata-bata, menunjukkan nama dan
asalnya.
“Sulastriy…?” sang polisi menegaskan.
Perempuan itu mengangguk.
“ Wa maadzaa sataf’aliina ya
Sulasriy?” Sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulasri.
Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi
isyarat agar sulastri turun dari tanggul.
“Na’am?” lelaki itu meminta.
“Laa,” Sulasri menggeleng pelan.
Permintaan diulang beberapa kali.
Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran.
Raut wajahnya yang cokelat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju
patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu.
Terdengar dia menyeru kembali. Muncul keawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai ke atas
tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang pulisi mengikuti dengan langkah cepat
pula.keduanya tampak seperti berkejaran. Sampai di ujung, Sulastri menyelinap
kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
Sulastri tahu, polisi tak akan
menangkap tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik.
Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga
teman-teman senasib, sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan
dideportasi, dia harus bergabung dengan bebebrapa teman, mengumpulkan uang setidaknya
seribu riyal per orang, lalu diserahkan kepada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah
yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur
tempat dan waktunya. Dari seribu riyal per orang, konon polisi akan menerima
tujuh ratus riyal per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim
orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang
berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan,
tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata
dari negeri Sulastri sendiri.
Cuaca makin panas. Laut Merah tampak
berkilau-kilau memantulkan sinar matahari hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk
di permukaan. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak
menjauhi pantai. Di ujung tanggul Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat
yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki
itu tak ingin repot . bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.
Di bibir Laut Merah, Sulasti
teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari desa Tegal Rejo dia
menatap keseberang sungai ke arah desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirinduni
pepohonan besar. Di sana ada seseorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran
benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anaknya jatuh bangun mempertahankan
nyawa. Lelaki itu bermana Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang
dengan berenang menyeberangi Bewngawan Solo.
”Sudah dapat?” tanya sulastri.
Seperti biasa, markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya
memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari
pakaiannya yang basah.
“Tanam tembakau di tepi bengawan
makin tak berharga. Permainan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus.
Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
Kesabaran Sulastri mengikis. Kali
ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku
yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh janggut.
“Kau bukan Siddartha, sang pertapa
Gotama dari kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan
anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan
untuk aku dan anak-anka!”
Markam hanya menjulingkan bola
matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi
kembali menyebrangi bengawan. Di siini, seorang suami mengabdikan hidupnya
untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Musium Trinil tempatnya
bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah
berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam.
Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai
hingga kini.
“Bayangan sang suami mulai
menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan
bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang mulai datang. Laut Merah
bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama
makin besar. Sulasri terjingkat. Sesosok gai sang penerkam sekonyong-konyong
nubcul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
“Firauuun…!”
Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal
itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya
cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pemakaina
gemerlap yang menutup pusar hingga lutut, Firaun telah sampai di atas tanggul.
Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan.
Dihadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok.
Perempuan itu menoleh ke sana kemari dengan tergesa, mencari-cari orang yang
dikenal sebagi penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri bertriak padanya
untuk minta tolong. Tapi, sang polisi tak menberi reaksi berarti. Dia hanya
melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kenmudian
kembali masuk pos.
“Tak usah takut hai budak!” kata
Firaun.
“Aku
bukan budak…”
“Ooo… siapa yang telah membayar
untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku, semuanya adalah aku!”
Sulasrti tak menjawab. Dia terus
melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan
lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulasrti dengan cepat berbalik arah
dan berlari.
“Hai, jangan berlari! Kau datang ke
sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke
hadapanku!”
Sulasrti terus berlari. Firaun
melangkahkan kakinya, main cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa
di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar raksasa.
Firaun menyeru-nyeru agar Sulasrti berhenti, tapi yang dikejar tak
menghiraukannya. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi
penjaga pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin
garang. Sulasrti meloncat dari atas tanggul.
Sulasrti terhenyak. Di depannya
muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot
panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada
selempang menyilang di bahu kanannya. Wajahnya tampak teduh. Tangannya menbawa
tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut mana lelaki di
hadapannya, “ya, Musa…”
Lelaki itu manggut-manggut. Tangan
kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdirikukuh di
atas tanggul. Angin bergolak di sana.
“Tolonglah saya, ya Musa,” pinta
Sulastri.
“Kau masik ke negeri ini secara
haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab musa dengan suara besar menggema.
“Saya ditelantarkan suami, ya Musa.”
“Suamimu seorang penyembah berhala,
mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan.”
“Perempuan tahu laki diwajibkan
mengubah nasibnya sendiri.”
“Negeri kami miskin, ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah.
Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan, ya
Musa.”
“Apa bukan kalian yang malas hingga
suka jalan pintas.”
“Kami menderita, ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu serakah.”
“Kami tak kebagian, ya Musa.”
“Mereka telah menjarah kekayaan
negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
“Kami tidak memeroleh keadilan, ya
Musa.”
“Di negerimu keadilan telah menjadi
selogan.”
“Tolonglah saya, ya Musa…”
Sontak angin datang bergemuruh.
Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dari pandangan Sulastri. Dari
atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari
kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih
berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
“Wa maadzaa turiidiina aidlom?”
polisi bertanya apalagi yang diinginkan Sulastri.
“Tolong… tolonglah saya….”
Polisi menggeleng-geleng sambil
menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari
menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung.
Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah benar-benar di belakang Sulastri.
Dan Firaun memang hampir menangkapnya. Tangan Firaun yang kekar meraih baju
Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun.
Sulastri terus memacu langkahnya yang hampir putus. Firaun makin menggeram.
Kali ini rambut Sulastriyang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun.
Rambut itupun jebol dari akarnya.
Saat Sulastri oleng dan kehabisan
nafas, lelaki yang dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapanya.
Tapi, kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya
sebagai jalan jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat
itu juga Sulastri merasakan ada benda digegamannya. Makin nyata dan nyata.
Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegangnya kuat-kuat dengan kedua
tanganya.
Angin bertiup amat kencang
mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada
kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun
menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh
Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun menjadi
berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari
tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke
daratan. Dar dalam laut Sulastri meliihat semacam ular besar menjulur dan
menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke
laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
Sulastri mendapati dirinya bersimpuh
di pasir pantai. Tongkat yang tadinya dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya
pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak
bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari
anaki-anak dan famili. Burung Elang melayang tinggi di atasnya, memekik
melengking ke telinga Sulastri.
Oleh : M. Shoim Anwar
Di Surabaya, September, 2011.
Sumber : Jawa Pos, Minggu, 6
November 2011
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka
Utama
Sekilas
Cerita
Cerita ini bermula di Dusun Girah,
sebuah desa kecil di Kerajaan Kahuripan. Tinggallah Calon Arang bersama
putrinya, Ratna Manggali. Calon Arang resah, karena hingga anak gadisnya
dewasa, tidak ada pemuda yang melamarnya. Padahal, Ratna Manggali adalah gadis yang
cantik, lagi baik.
Suatu hari, Ratna Manggali digoda
oleh seorang laki-laki yang diketahui telah beristri. Laki-laki itu bahkan
ingin melamar Ratna Manggali. Manggali menolak dengan halus, sebab ia tidak
suka sifat dan karakternya yang tidak baik. Tidak disangka, seketika itu juga
ia menyaksikan tubuh laki-laki itu terbakar oleh api yang besar dan
membunuhnya.
Calon Arang sangat menyayangi
putrinya. Karena itu, ia sangat marah bila ada orang-orang atau pemuda yang
merendahkan putrinya. Ia membuat teluh pada penduduk setempat yang berakibat
kematian. Hal itu meresahkan penduduk, dan akhirnya tersiar ke Raja Airlangga.
Airlangga mengutus prajurit terbaiknya untuk menumpas Calon Arang yang adalah
ibunya sendiri. Prajuritnya tidak mampu menandingi kesaktian Calon Arang. Calon
Arang semakin marah karena Airlangga hendak membunuhnya. Ia semakin gencar
mengirimkan teluh kepada seluruh penduduk negeri. Hal itu membuat Airlangga
resah, ia berdiskusi dengan Mpu Baradah, dan diputuskan untuk mengirimkan Bahula
untuk menikahi Ratna Manggali, namun tujuan utamanya adalah mengambil kitab
ilmu Calon Arang, sebab untuk menaklukkan ilmu Calon Arang, Mpu Baradah perlu
mempelajari kitab itu.
Singkat cerita, kitab ini berhasil
dibawa ke Mpu Baradah. Mpu Baradah bersama anak buahnya bertempur melawan Calon
Arang. Mpu Baradah berhasil membunuh Calon Arang, dan Kerajaan Kahuripan dibagi
menjadi dua kerajaan. Bagian Utara itu wilayah Daha, bagian Selatan itu wilayah
Kediri.
Kekuatan Sekaligus Kelemahan
Saya mencoba melihat dari sudut
pandang Calon Arang. Ia adalah seorang ibu. Ibu yang mengayomi dan melindungi.
Tentunya tidak mudah hidup sebagai seorang janda dengan seorang anak perempuan.
Saya menyebut beruntung Calon Arang adalah keluarga bangsawan. Cerita ini akan
berbeda bila Calon Arang adalah orang biasa yang tidak punya latar belakang
bangsawan dan ilmu tinggi.
Sebagai seorang ibu, ia memastikan
bahwa calon suami anaknya kelak adalah orang yang baik. Pada dasarnya ia juga
ingin meneruskan keturunan keluarganya dari Ratna Manggali. Apakah ada
pembedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan? Dalam hal ini Calon Arang
membela anak perempuannya. Ia tidak menginginkan Ratna Manggali menjadi perawan
tua, tapi tidak ingin juga orang/pemuda lain menghina Ratna Manggali. Inilah
kekuatan Calon Arang.
Janda dan Perawan Tua. Peristilahan
ini diwakili oleh Calon Arang dan Ratna Manggali. Sebuah ketakutan sekaligus
sekaligus menjadi alat yang ampuh? melukai hati perempuan. Sosok Calon
Arang tak mau terjebak dengan stereotip negatif tersebut.
Etis tidak etis
Walau dalam cerita ini, Calon Arang
adalah seorang musuh Raja, namun ia masih menunjukkan sikap dewasa. Sebagai
contoh, ketika ia menerima Bahula menjadi calon menantunya. Ia tahu dalam
hatinya bahwa Bahula ada utusan Raja Airlangga yang mencoba membunuhnya. Ia
juga tahu bahwa motivasi Bahula datang ke Dusun Girah adalah semata-mata karena
perintah Mpu Bharada, bukan atas nama cinta.
Setiap tindakan orang untuk meraih
tujuan, didasarkan pada motivasi atau alasan. Tinggal masing-masing kita
menilai, etiskah tindakan saya? Baik Raja Airlangga dan Calon Arang adalah
orang-orang yang berambisi mencapai tujuan. Calon Arang berambisi menghabisi
orang-orang yang menghina ia dan anaknya, sementara Airlangga berambisi untuk
menangkap Calon Arang demi mewujudkan Kerajaan Kahuripan yang damai sentosa.
Namun beberapa tindakan yang bisa kita nilai tidak etis adalah sebagai berikut.
Pertama, tindakan
Airlangga yang mengirimkan pasukan khusus untuk menumpas Calon Arang. Mengapa
ia tidak menyelidiki desas desus dulu sebelum mengambil keputusan menyerang?
Bukankah ia tahu bahwa Calon Arang adalah ibunya? Apakah tidak lebih baik
melakukan pendekatan secara kekeluargaan alih-alih kekerasan?
Kedua,
keputusan untuk mengirim Bahula menjadi menantu Calon Arang. Jelas-jelas
motivasi perkawinan itu untuk mendapatkan rahasia kekuatan Calon Arang.
Sepertinya Airlangga dan penasihatnya telah kehabisan akal. Menurut taktik
perang, strategi ini cukup jitu, sebab lewat jalur fisik (baca: perang) tidak
mungkin memeroleh kemenangan selain mengetahui dari dalam apa rahasia kekuatan
musuh. Toh di cerita selanjutnya, diceritakan kalau si Bahula akhirnya mengasihi
sepenuhnya Ratna Manggali.
Ketiga, Bahula
mengkhianati Calon Arang. Landasan utama perkawinan Bahula dengan Ratna
Manggali adalah kitab ilmu Calon Arang. Ia sendiri membujuk Ratna Manggali
untuk mengambil kitab ibunya, dengan alasan agar orang-orang tidak bertambah
banyak mati karena teluh Calon Arang. Seandainya cerita terus berlanjut,
bagaimana kelak ketika anak mereka menanyakan, "dimana nenekku?" Apa
jawab Bahula?
Keempat, mengapa
tidak Raja Airlangga sendiri yang datang ke Calon Arang, seraya memohon agar
ibunya tidak lagi mengirimkan teluh. Seharusnya, jika ia mengetahui apa yang
menjadi awal kemarahan Calon Arang, ia akan menghukum orang yang menghina ibu
dan saudara perempuannya. Teluh yang dilakukan Calon Arang seperti hukum
aksi-reaksi. Tidak akan ada teluh jika tidak ada pemicunya. Boleh jadi, teluh
yang dikirimkan adalah bentuk pembelaan diri.
Apakah tujuan "Demi Keutuhan
Bangsa dan Negara" masih relevan dengan penghilangan nyawa seseorang?
Entahlah pada masa cerita ini hal itu cukup wajar jika raja saking berkuasanya,
baginya biasa untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap mengganggu. Bukankah
masih terjadi hal demikian di negeri kita ini? ketika masa pemerintahan Orde
Baru, tanpa pendekatan persuasif, adalah sebuah kejadian wajar jika orang-orang
yang dianggap menyebabkan disintegrasi menghilang tanpa jejak dan lenyap.
Warisan
Bagaimanapun, cerita Calon Arang meninggalkan warisan budaya bagi bangsa kita, terutama bagi Orang Bali. Calon Arang menjadi sosok yang kental untuk sebuah pertunjukan tari, teater dan upacara. Ilmu yang dimiliki Calon Arang diduga sekarang adalah yang dinamakanWikiLeak itu. Lukisan-lukisan yang
menggambarkan Calon Arang banyak dibuat oleh pelukis Bali. Dan prasangka
orang-orang pada Leak pun, tetap miring, yaitu perwujudan kekuatan jahat.
Apakah itu karena rupa Leak yang digambarkan di lukisan atau di pagelaran tari
jelek buruk rupa: mata membelalak, lidah panjang keluar, dan cakar panjang? Ah
entahlah.
Bagaimanapun, cerita Calon Arang meninggalkan warisan budaya bagi bangsa kita, terutama bagi Orang Bali. Calon Arang menjadi sosok yang kental untuk sebuah pertunjukan tari, teater dan upacara. Ilmu yang dimiliki Calon Arang diduga sekarang adalah yang dinamakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar